PUISI HATI IV
  WELCOME | About me | Puisi Hati | Puisi Hati II | Puisi Hati III | Puisi Hati IV | Cerita Hati | Rahasia Hati | Prosa Hati | Prosa Hati II | Prosa Hati III | Photo Album I | Guest Book | Contact Me | Favorite Links | Lagu Hati | Tentang Cinta  

MENARI
Biarakan aku menari bersama angin, senja ini
Kekalkan lembayung
Kristalkan kata-kata
Menapaki jejak kambara
Yang masih tergurat seribu cinta

Mengingatmu dengan memetik F minor
Adalah simfoni cakrawala jingga
Merebahkan dadaku
Untuk kau gerayangi dengan
Kehangatan tangan dan lidah
Melalui nadamu yang mendesah

Terkamlah aku !

Mumpung tarianku belum berhenti
Agar keindahan lentiknya
Masih dapat kau nikmati

LIRIK MATAMU
Lirik matamu, kekasih
Adalah kilatan halilintar
Yang merobohkan gunung es
Dan mencairkannya menjadi
Lautan
Rindu memenjarakanku
Pada sel waktu yang sempit
Hingga sesak, membiru, pecah
Menjadi puing-puing kata, kupungut
Kurangkainya kembali dengan tangis.
Kini aku bersama cinta
Tertatih, merintih injaki aspal panas
Yang meleleh oleh kobaran asmara
Dari jantung yang terus berdenyut
Mengabarkan kisah seorang musafir
Tersesat di belantara.
Sungguh, betapa menyakitkan mencintaimu
Kelak
kematianku akan diwartakan
Karena sebuah tikaman lirik matamu
Di dadaku
BERILAH AKU SETEGUK ARAK !
Sebutir bintang kupetik santun
Kutaruh di kelopak matamu
Sebagai kerlip yang lama
Tertambat pada sendi-sendiku

Dadaku mendebarkan keasingan
Malam, luluh menatap pesonamu

Bulan yang kau puja
Terhalang kabut
Membiarkan angin mengoyak
Pita suaraku, agar aku tidak bisa
Berteriak

Cintaku !

Berilah aku seteguk arak
Yang tidak memabukkan
Namun dapat membunuhku
Hentikan pengembaraan
Mengikuti jejakmu
Beri Aku Satu Ciuman Lagi
Senja menyuruhku memuja bibirmu
Yang basah
oleh seteguk anggur

Biarkan aku menjelma seekor semut
Hari ini, menyerbu manis senyummu
Yang menggelegar
Seperti ledakan matahari
Memuncratkan jantungku
Membakar keheningan
Menebarkan abu asmara
Dalam aliran darah

“Beri aku satu ciuman lagi !”

Namun tubuhku kaku
Dipasung senyumanmu
Sebelum kau beranjak
Meninggalkan segelas sisa anggurmu
Rumah Kelopak Mawarku
Untuk Nadia sang putri

Tak pernah sekalipun dalam hidupku terfikir untuk berhenti memberimu
kelopak-kelopak mawar yang kutanam di beranda ketika kau baru berusia
dua hari. Dengan kelopak-kelopak itu kuajarkan kau satu-dua-tiga dan
merah-putih-hitamnya hidup. Ada keputusasaan ketika kau sulit mengeja
ma-war me-rah ke-lo-pak pu-tih sambil sebutir dua butir air mata

kita
berdua jatuh di atasnya

Pagi ini kelopak-kelopak mawar yang bertahun-tahun kita kumpulkan
dengan segenap senyum dan isak tertahan, telah menjelma rumah bagi
kupu-kupu


Puisi untuk Istri dari Lelaki yang Kupacari
Jangan tanya adakah aku mencintainya
Lelaki hyena ada di mana-mana
Jangan kira aku percaya padanya
Meskipun katanya aku Cleopatra
Padahal aku cuma stasiun kereta

Entah apa yang sedang kulakukan
Ketika kulayarkan dendamku dulu
Ia mampir menawarkan pelukan
Lantas kubayar dengan bulan setengah bulat
Melautlah segala kebencian
Yang ditanam lelaki sebelumnya

Barangkali aku memang mencintainya
Seperti cinta kanak pada peri ungu
Barangkali juga aku cuma hyena betina

Lelakimu terus menghujaniku dengan bunga dan mimpi
Sementara kudengar isak burung bangau di padang pasir

"Laut begitu jauh, begitu jauh debur ombak"
bayangmu gemetaran di tengah terik padang
tak ada tangis
ada oase di bening matamu

aku merasa bersalah

Pada bulan ke tujuh belas dendamku lunas
Cintaku ludas terus menerus dimakan bayang putihmu
Kudatangi dirimu
Kau sambut aku dengan pisau dapur di tangan

"Lihat, aku tidak memakai rok mini
aku tidak merokok
aku tidak suka film porno
aku benci diskotik
aku tidak pernah mencopet dompet suamimu
aku selalu menyuruhnya pulang ke rumahmu"

"Aku tak punya apa-apa selain suamiku"
Suaramu kah itu yang gemetar tertelan putus asa?

Ada laut memisahkan kita
Di mana perahu nabi Nuh?
Ingin aku berlayar ke pulaumu
Memeluk kakimu seperti pernah sekali
Kucium kaki bunda

Kau diam membisu di situ
Dalam api yang kukenal betul baranya
Sesungguhnya
Aku adalah dirimu
Entah di mana pernah kubaca
Perempuan di mana-mana
Kembar dalam perasaan

Kemarikan pisaumu
Biar aku mati di ujungnya
Jika ini satu-satunya cara
Menghentikan pendulum bingung
diaun-ayun waktu

Tentang Diam
Sebuah diam pernah dicintai kebisingan dengan dasyatnya
hingga hampir saja ia beranjak dari pertapaanya
Seseorang yang bijak mengingatkannya bahwa diam adalah emas
bicara adalah kuburan yang dihuni sejarah kebencian

Diam-diam sang diam tak bia mengelak dicintai
kebisingan sebab sesekali kulihat dalam semedinya
ia nikmati sorak-sorai, makian, dan tangis
dengan diam-diam sekali ia bermimpi berhenti bertapa
kabur ke pulau entah yang mengizinkan
sunyi dan sorak hidup berdampingan dalam damai

Tetapi sekali lagi ia diingatkan
diam adalah adiluhung sementara kebisingan
cuma sampah di telinga

Hingga waktu sekarat di telapak tangannya
tak seorang pun tahu siapa pemenangnya

Pencarianku
Perjalanan ini berawal dari nada musik subuh menembus jendela dan
berakhir pada tanah tak bertepi.
Pencarian yang tak pernah berhenti meski pada sebuah akhir: kering
telapak tangan dan hati yang terus-menerus kepingin pergi; mencari.

Di bukit kesejukan dan janji menanti pendeta-pendeta berjubah ungu
menggengam kembang teratai.
Doa-doa ditaburkannya di ubun-ubunku. Sungguh, aku tak merasakan
apa-apa meski seruling menarik-narikku pulang kembali ke hati mereka.

Pada waktu yang tak kuingat, aku tiba di padang darah dan dendam.
Seperti juga nenek moyangku ratusan tahun lalu, anak-anak kecil
berbaju putih menanam dendam pada tanah-tanah sengketa. Perseteruan
ditulis dengan darah. Tak seorang pun berani menggugat; semestinyalah
bisa ada damai di sini, meski barang sejenak ketika aku lewat.

Pada bulan purnama entah yang ke berapa, seingatku aku bermukim di
kerajaan awan. Ibu-ibu menanam gandum di langit mendung dan
menyiraminya dengan air mata dua kali setahun. Pemuda-pemuda lajang
menanam layang-layang di langit dan melilitkan benangnya di leher
masing-masing.